Minggu, 24 November 2013

Teori Kultivasi dalam Komunikasi Massa

Epistimologis dari cultivation adalah penanaman. Jadi Cultivation Theory atau Teori Kultivasi adalah sebuah teori dalam konteks keterkaitan media massa dengan penanaman terhadap suatu nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak, atau bisa disebut salah satu teori dalam komunikasimassa yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini, digagas oleh seorang Pakar komunikasi dari Annenberg School of Communication,Profesor George Gerbner yang juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.
Pada 1960 Profesor Gerbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” untuk mempelajari pengaruh televisi. Profesor Gerbner ingin mengetahui pengaruh-pengaruh televisi terhadap tingkah laku, sikap, dan nilai khalayak. Dalam bahasa lain, Profesor Gerbner memberikan penegasan dalam penelitiannya berupa dampak yang di timbulkan televisi kepada khalayak.
Teori Kultivasi berpandangan bahwa media massa, yang dalam konteks teori ini adalah televisi, memiliki andil besar dalam penanaman dan pembentukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. “Menurut teori ini, televisi menjadi alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya”(Nurudin, 2004). Persepsi dan cara pandang yang ada dalam masyarakat, sangat besar dipengaruhi oleh televisi. Atau dalam kalimat lain, apa yang kita pikirkan adalah apa yang dipikirkan mediamassa. Melaui kaca mata kultivasi, cara pikir masyarakat di konstruksi sedemikian rupa sehingga leading opinion yang dilakukan televisi (media massa) dapat diterima oleh khalayak, meski seringkali proporsionalitas dari pemberitaan amat minim. Issu terorisme cukup menjadi permisalan yang relevan ditampilkan. Ketika mendengar atau melihat kata terorisme, yang terlintas dalam benak dan pikiran masyarakat adalah “jenggot” dan “sorban”. Penayangan media massa televisi berulang-ulang telah membawa opini masyarakat dan menanmkan pendefinisian istilah terorisme dengan “jenggot” dan “sorban”. Atau setidaknya dekat dengan hal itu. Dalam pandangan kultivasi ini, media massa televisi seringkali melakukan generalisasi. Bisa jadi, adalah suatu kebenaran seorang yang melakukan tindakan terorisme adalah mereka yang “berjenggot dan bersorban”. Namun, bukan berarti, semua yang “berjenggot dan bersorban” adalah teroris dan pelaku terorisme. Tak dapat dipungkiri, opini yang dibangun media menuntun sebagian besar masyarakat untuk melakukan generalisasi terhadap hal-hal seperti ini.

Pandangan Kultivasi tentang media massa dan kejahatan
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif.
Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah rumah tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai akses yang tidak terbatas terhadap televisi. Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan lebih banyak kisah sepanjang waktu. Gebrner menyatakan bahwa masyarakat memperhatikan televisi sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja). Lalu apa yang dilihat di televisi? Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan bagiamana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan pelajaran berharga bagi para penontonnya tentang berbagai ‘kenyataan hidup’, yang cenderung dipenuhi berbagai tindakan kekerasan.

 Fase riset Kultivasi
Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi, yaitu:
Fase Pertama adalah fase Bobo Doll, Fase pertama ini dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewasa melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka balon Bobo Doll sambil berteriak garang, “Hantam! Sikat hidungnya!”. Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir, sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 – 90 persen dari jumlah kelompok tersebut.
Fase kedua adalah fase penelitian laboratorium penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama menekana tombol merah daripada kelompok kedua.
Fase ketiga adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999:234). dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 243 – 245).

Karakteristik audience dalam Cultivation Theory
Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut sebagai kahalayak ‘the television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, Gerbner juga menyatakan bahwa cultivation differential darimedia effect untuk dijadikan rujukan untuk membandingkan sikap penonton televisi. Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap yang akan muncul berkaitan dengan keberadaan heavy viewers, yaitu:
      1.      Mereka yang memilih melibatkan diri dengan kekerasan
Yaitu mereka yang pada akhirnya terlibat dan menjadi bagian dari berbagai peristiwa kekerasan
      2.      Mereka yang ketakutan berjalan sendiri di malam hari
Yaitu merekayang percaya bahwa kehidupan nyata juga penuh dengan kekerasan, sehingga memunculkan ketakutan terhadap berbagai situasi yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
     3.      Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan hukum
Yaitu mereka yang percaya bahwa masih cukup banyak orang yang tidak mau terlibat dalam tindakan kekerasan.
     4.      Mereka yang sudah kehilangan kepercayaan
Yaitu mereka yang sudah apatis tidak percaya lagi dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan.

Analisis dan Dampak kultivasi
Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai efek komunikasimassa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada usaha untuk dilakukan untuk meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakuakn ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234).
Zulkarnain Nasution memiliki pandangan bahwa salah satu dampak penayangan kejahatan di televisi adalah dapat memberikan inspirasi seseorang (khalayak) untuk melakukan kejahatan itu sendiri. Penulis memiliki anggapan bahwa dalam konteks inilah dapat dikatakan media massa melakukan kejahatan. Mediamassa televisi menggiring seseorang (khalayak) pada suatu nilai yang diingini media, dimana nilai itu disampaikan dalam suatu penayangan sikap di televisi secara berulang, dan pada akhirnya khalayak menerimanya sebagai suatu nilai yang disimbolkan melalui sikap yang memang pantas diterima.
Media massa dalam bentuk lain (selain televisi), juga memiliki andil besar dalam penanaman nilai dan pembentukan sikap khalayak. Seringkali kita jumpai, kasus-kasus pemerkosaan yang disebabkan pelaku terpengaruh dengan tayangan-tayangan dalam film -yang didalamnya terdapat unsur pornografi- yang sering ia tonton sebelumnya. Konteks ini penulis pahami bahwa media massa menanamkan nilai-nilai kesusilaan di destruksikan sebagai hal yang wajar, sehingga menimbulkan pengaruh berupa gejala sosial kejahatan yang dilakukan oleh oknum audiens.
Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yan mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) catat pula, teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gerbner (meminjam istilah Bandura) juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan.
Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang sebenarnya terjadi juga begitu. Jadi, kekerasan televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar