Rabu, 20 November 2013

Konsep Framing Dalam Media Massa

Konsep framing
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa.  Media menseleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.
Menurut Frank D. Durham (Eriyanto, 2002:67) framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti.
Robert N. Entman
Proses seleksi dari  erbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi  alam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain
William A. Gamson
Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang  berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
Todd Gitlin
Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dengan realitas.
David E. Snow and Robert Benford
Pemberian makna untuk menafsikan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan system kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.
Amy Binder
Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.
Zhondang Pan and Gerald M. Kosicki
Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita
Sumber : Eriyanto, 2002:68
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Framing seperti dikatakan Todd Gitlin adalah sebuah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa  untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya.
Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas.
Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan  psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan dengan teori mengenai skema atau kognitif; bagaimana seseorang memahami dan
melihat realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat. Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh lingkungan eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Erving Goffman.
Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.
      1. Dimensi psikologis.
Framing sangat berhubungan dengan dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari aspek psikologi. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky (Eriyanto, 2002:72) membuat serangkaian penelitian lewat studi eksperimental bagaimana pesan yang dibingkai atau dibungkus secara berbeda akan dimaknai dan dipahami secara berbeda pula oleh khalayak. Pemaknaan dan pemahaman khalayak tidak tergantung pada realitas atau fakta, tetapi tergantung pada bagaimana realitas itu disajikan; bagaimana pesan dibingkai dengan kemasan tertentu yang menyebabkan pemahaman tertentu dalam benak khalayak.
Penelitian Kahneman dan Tversky tersebut menunjukkan bagaimana pendapat khalayak bisa dibentuk oleh frame yang dibangun oleh pertanyaan. Realitas yang hendak ditanyakan adalah sama, tetapi pertanyaan yang diajukan berbeda dengan penonjolan pada bagian tertentu dan penekanan pada bagian yang lain.
      2. Dimensi sosiologis.
Selain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Ini menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di dalamnya praktik profesional. Pendekatan semacam ini untuk membedakan pekerja media sebagai individu sebagaimana dalam pendekatan sosiologis. Melihat berita dan media seperti ini berarti menempatkan berita sebagai institusi sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik profesional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional. Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan.
Berita adalah produk dari institusi sosial dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis dari presentasi simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam suatu panggung untuk menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media, seperti dikatakan P.K Manning (Eriyanto, 2002:81) pendekatan dramaturgi tersebut mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan actor menampilkan dirinya dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media karenanya dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor. Realitas yang terbentuk karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya.
Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu mengorganisasi peristiwa tiap hari. Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang dialami oleh seseorang. Dalam perspektif Goffman, frame mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa memahaminya. Menurut Goffman, sebuah frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan makna. Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung tiap hari.

Framing dan Ideologi
Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Diantara berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Dalam kerangka ini, media dapat mendefinisikan nilai dan prilaku yang sesuai dengan nilai kelompok dan prilaku atau nilai apa yang dipandang menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah, yang terjadi dengan sendirinya, dan diterima begitu saja. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja, melainkan dikonstruksi. Lewat konstruksi tersebut, media secara aktif mendefinisikan peristiwa dan realitas sehingga membentuk kenyataan apa yang layak, apa yang baik, apa yang sesuai dan apa yang dipandang menyimpang. Dalam produksi berita, yang menjadi dasar dari proses produksi berita adalah  adanya semacam konsensus; bagaimana suatu peristiwa dipahami bersama dan dimaknai. Disini ada dua pengertian; pada satu sisi peristiwa dan aktor yang direstui dan pada sisi lain adalah peristiwa dan prilaku yang dikeluarkan (mbalelo)
dari pembicaraan. Konsensus menyediakan suatu kesatuan; satu negara, satu masyarakat, satu budaya dan sebagainya. Melalui konsensus ini realitas yang beragam dan tidak beraturan diubah menjadi realitas yang mudah dan bisa dikenali, sesuatu yang plural menjadi tunggal. Lewat konsensus ini, terjadi proses homogenisasi bahwa kita adalah satu.
Peristiwa bisa dipahami dalam perspektif yang berbeda didasarkan pada kesepakatan atau tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama dalam komunitas. Kelompok yang ada di luar itu dipandang sebagai menyimpang (deviant) dan dipinggirkan dalam pembicaraan. Peristiwa atau aktor dipandang dengan ketidaksetujuan dan dimarjinalkan dalam pembicaraan. Pandangan yang negatif atau marjinal mengenai sesuatu didasarkan pada konsensus yang bekerja dalam suatu proses pemberitaan.
Gambar 3. Peta Ideologi

Daniel Hallin (Eriyanto, 2002:127) membuat ilustrasi dan gambaran menarik yang menolong menjelaskan bagaimana berita kita tempatkan dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang; bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere consensus). Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis. Apakah peristiwa dibingkai dan dimaknai sebagi wilayah penyimpangan, kontroversi, ataukah konsensus? Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan, atau prilaku tertentu dikucilkan  dan dipandang menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Peristiwa PKI masuk dalam wilayah penyimpangan karena dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas. Bidang kedua adalah wilayah kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa realitas (peristiwa, prilaku, atau gagasan) dipandang menyimpang dan buruk, dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus; menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai
realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.
Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana prilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideology yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke dalam peta yang berbeda, karena ideologi yang menempatkan bagaimana nilai-nilai bersama yang dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari.
Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi yang dimaksud disini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses melihat dan menandakan peristiwa tersebut kita menggunakan titik melihat tertentu. Titik atau posisi melihat itu menggambarkan bagaimana peristiwa dijelaskan dalam kerangka berpikir tertentu.

Framing Model Robert N. Entman
Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep mengenai framing ditulis dalam sebuah artikel untuk Journal of Political Communication dan tulisan lain yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu studi kasus pemberitaan media.
Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dari pada isu yang lain. Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan lebih diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa. Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek budaya yang akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide, gagasan, informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks berita tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, hendak dibawa kemana berita tersebut.
Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.
Penonjolan aspek tertentu dari suatu isu
Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Sumber : Eriyanto, 2002:187
Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karateristik dari teks berita. Misalnya, frame anti militer yang dipakai untuk melihat dan memproses informasi demonstrasi atau kerusuhan. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselediki dari kata, citra, dan gambar tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita. Kosakata dan gambar itu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol dibandingkan bagian lain dalam teks. Itu dilakukan lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol, atau menghubungkan dengan bagian lain dalam teks berita. Sehingga bagian itu lebih menonjol, lebih mudah dilihat, diingat dan lebih mempengaruhi khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi atau skema interpretasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup membentuk dan menginterpretasikan makna didalamnya.

Gambar 4. Skema Framing Robert N. Entman

Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda. Ketika ada demonstrasi mahasiswa dan diakhiri dengan bentrokan, bagaimana peristiwa ini dipahami? Peristiwa ini bisa dipahami sebagai anarkisme gerakan mahasiswa, bisa juga dipahami sebagai pengorbanan mahasiswa.
Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Misalnya, dalam kasus bentrokan demonstrasi mahasiswa. Kalau demonstrasi itu dipahami sebagai anarkisme mahasiswa maka mahasiswalah yang dianggap sebagai pelaku. Tetapi sebaliknya, kalau demonstrasi tersebut dipahami sebagai perlawanan mahasiswa maka polisilah yang dipandang sebagai pelaku.
Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. Contoh gerakan mahasiswa, kalau wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya pertahanan diri, dalam teks berita bisa dijumpai serangkaian pilihan moral yang diajukan. Misalnya disebut dalam teks, “mahasiswa adalah kelompok yang tidak mempunyai kepentingan, dan berjuang di garis moral.” Pilihan moral sebaliknya, bisa diberikan kepada polisi dengan menyatakan bahwa polisi berjuang demi rakyat.
Elemen framing lain adalah treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Kalau dalam berita mengenai demonstrasi mahasiswa tersebut dipandang polisi yang salah maka penyelesaian masalah yang ditawarkan bisa jadi menyeret polisi ke pengadilan atau bisa juga ditawarkan penyelesaian untuk terus melakukan demonstrasi dalam jumlah massa lebih besar.

Efek Framing
Framing berhubungan dengan pendefinisian realitas. Bagaimana peristiwa dipahami, sumber siapa yang diwawancarai. Semua elemen tersebut tidak dimaknai semata sebagai masalah teknis jurnalistik, tetapi sebuah praktik. Berbagai praktik tersebut bisa mengakibatkan pendefinisian tertentu atas realitas. Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita dan pada akhirnya realitas yang berbeda ketika peristiwa tersebut dibingkai dengan cara yang berbeda. Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak berarturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka.
           a. Menonjokan aspek tertentu mengaburkan aspek lain.
Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari perpektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya.
          b. Menampilkan sisi tertentu melupakan sisi lain.
Pada aksi demonstrasi mahasiswa yang banyak berakhir dengan bentrokan. Berita secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekat menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan menampilkan sisi yang seperti ini dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan yaitu apa tuntutan dari mahasiswa tersebut. Seolah dengan menggambarkan berita seperti ini, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan saja ditengah masyarakat.
          c. Menampilkan aktor tertentu menyembunyikan aktor lainnya.
Berita seringkali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. Misalnya dalam berita tentang Timor Timur yang banyak menampilkan tindakan yang pro integrasi dan teror yang dilakukannya. Pemfokusan semacam ini melupakan dan menghilangkan kemungkinan adanya Unamet yang melakukan kecurangan dalam pemilu. Berita dan versi semacam ini tidak mendapatkan tempat, karena berita memfokuskan diri pada sisi yang lain, yaitu pasukan pro integrasi.
          d. Mobilisasi Massa
Framing berkaitan dengan opini publik. Hal ini dikarenakan ketika isu tertentu dikemas dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Misalnya, mengirim pasukan ke Timor Timur adalah upaya mempertahankan nasionalisme Indonesia. Timor Timur adalah wilayah yang sah dari Indonesia, karena itu, meski pasukan internasional telah datang tetap harus dikirim pasukan ke daerah tersebut. Terbukti kemasan tersebut berhasil menarik dukungan masyarakat dan mobilisasi massa. Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literature gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu, khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Semua itu membutuhkan frame; bagaimana isu dikemas, bagaimana peristiwa dipahami, dan bagaimana pula kejadian didefinisikan dan dimaknai.
    e. Menggiring Khalayak Pada Ingatan Tertentu
Individu mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media. Karenanya, perhatian khalayak, bagaimana orang mengkonstruksi realitas sebagian besar berasal dari apa yang diberitakan media. Media adalah tempat dimana khalayak memperoleh informasi mengenai realitas politik dan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut. Dengan kata lain, frame yang disajikan oleh media ketika memaknai realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menafsirkan peristiwa. Hubungan transaksi antara teks dan personal ini melahirkan pemahaman tertentu atas suatu realitas.
Apa yang menyebabkan suatu berita lebih mudah diingat orang? Peristiwa-peristiwa tertentu yang dramatis dan diabadikan, ternyata mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang melihat peristiwa. W. Lance Bennet dan Regina G. Lawrence (Eriyanto, 2002:150) menyebut sebagai ikon berita (news icon). Apa yang khalayak tahu tentang realitas sedikit banyak tergantung pada bagaimana dia menggambarkannya. Dalam peristiwa yang dramatis dan digambarkan oleh media secara dramatis pula, bahkan mempengaruhi pandangan khalayak tentang realitas. Gambaran tentang orang, kelompok, realitas bahkan selalu disesuaikan dengan ikon yang sudah terlanjur tertanam dalam benak publik. Ikon-ikon yang diciptakan dalam pemberitaan membatasi pandangan khalayak, seakan ia adalah potret yang sempurna dalam menggambarkan orang, peristiwa, atau kelompok tertentu.

(Diolah Dari Berbagai Sumber)
Categories:

2 komentar: