Konsep framing
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana
realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan
konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari
realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih
mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media.
Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan,
menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing
adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut
dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan
membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Media menseleksi, menghubungkan, dan
menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan
diingat oleh khalayak.
Menurut Frank D. Durham (Eriyanto, 2002:67) framing
membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks
dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian
realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti.
Robert
N. Entman
|
Proses
seleksi dari erbagai aspek realitas
sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek
lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi alam konteks yang khas sehingga sisi
tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain
|
William
A. Gamson
|
Cara
bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan
menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara
bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam
skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi
makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna
pesan-pesan yang ia terima.
|
Todd
Gitlin
|
Strategi
bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk
ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam
pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu
dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek
tertentu dengan realitas.
|
David
E. Snow and Robert Benford
|
Pemberian
makna untuk menafsikan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame
mengorganisasikan system kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci
tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat
tertentu.
|
Amy
Binder
|
Skema
interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan,
mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung.
Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang
mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.
|
Zhondang
Pan and Gerald M. Kosicki
|
Strategi
konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam
mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas
dan konvensi pembentukan berita
|
Sumber
: Eriyanto, 2002:68
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu
dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan
hendak dibawa kemana berita tersebut. Framing seperti dikatakan Todd Gitlin
adalah sebuah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada
khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih
fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak
mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu
terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang
dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian
mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan.
Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih
fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan
melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu
peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang
menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang
bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan
fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan
kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi
apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana
fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat
tertentu; penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau
bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat
penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang
diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan
pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya.
Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan
penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi
dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang
ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang
besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi
tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.
Realitas yang disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami
realitas.
Konsep framing dalam studi media banyak mendapat
pengaruh dari lapangan psikologi dan
sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi
yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana
pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau
gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan dengan teori
mengenai skema atau kognitif; bagaimana seseorang memahami dan
melihat
realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang melihat
manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks.
Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi
yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat.
Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh
lingkungan eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh
pemikiran Erving Goffman.
Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif
mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai
arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan
manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan
berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau
skema interpretasi dari seseorang.
1. Dimensi psikologis.
Framing sangat berhubungan dengan
dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan
untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan
oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih menonjol dan
mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari aspek
psikologi. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan
dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami,
tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang cenderung
melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung
dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa
jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai
pandangan atau perspektif yang berbeda juga.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky
(Eriyanto, 2002:72) membuat serangkaian penelitian lewat studi eksperimental
bagaimana pesan yang dibingkai atau dibungkus secara berbeda akan dimaknai dan
dipahami secara berbeda pula oleh khalayak. Pemaknaan dan pemahaman khalayak
tidak tergantung pada realitas atau fakta, tetapi tergantung pada bagaimana
realitas itu disajikan; bagaimana pesan dibingkai dengan kemasan tertentu yang
menyebabkan pemahaman tertentu dalam benak khalayak.
Penelitian Kahneman dan Tversky tersebut
menunjukkan bagaimana pendapat khalayak bisa dibentuk oleh frame yang dibangun
oleh pertanyaan. Realitas yang hendak ditanyakan adalah sama, tetapi pertanyaan
yang diajukan berbeda dengan penonjolan pada bagian tertentu dan penekanan pada
bagian yang lain.
2. Dimensi sosiologis.
Selain psikologi, konsep framing juga
banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama
dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada
level sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi
dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Ini menempatkan
media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di dalamnya praktik
profesional. Pendekatan semacam ini untuk membedakan pekerja media sebagai
individu sebagaimana dalam pendekatan sosiologis. Melihat berita dan media
seperti ini berarti menempatkan berita sebagai institusi sosial. Berita
ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik profesional dalam organisasi.
Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional.
Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan.
Berita adalah produk dari institusi
sosial dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah
produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari
dibentuk dan dikonstruksi. Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi
yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis dari
presentasi simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas
seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan
menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam suatu panggung
untuk menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media,
seperti dikatakan P.K Manning (Eriyanto, 2002:81) pendekatan dramaturgi tersebut
mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan actor menampilkan
dirinya dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media karenanya dilihat
sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap dengan simbol
dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat
hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor. Realitas yang terbentuk
karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya.
Dalam pandangan Goffman, ketika
seseorang menafsirkan realitas tidak dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu
mengorganisasi peristiwa tiap hari. Pengalaman dan realitas yang
diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang dialami oleh seseorang. Dalam
perspektif Goffman, frame mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi
secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa memahaminya. Menurut
Goffman, sebuah frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia
yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi
punya arti dan makna. Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial
yang berlangsung tiap hari.
Framing
dan Ideologi
Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas
seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu
kepada khalayak. Diantara berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan
realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme
integrasi sosial. Media berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol
bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Dalam kerangka ini, media dapat
mendefinisikan nilai dan prilaku yang sesuai dengan nilai kelompok dan prilaku
atau nilai apa yang dipandang menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang
menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah, yang terjadi dengan sendirinya,
dan diterima begitu saja. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang
terbentuk begitu saja, melainkan dikonstruksi. Lewat konstruksi tersebut, media
secara aktif mendefinisikan peristiwa dan realitas sehingga membentuk kenyataan
apa yang layak, apa yang baik, apa yang sesuai dan apa yang dipandang
menyimpang. Dalam produksi berita, yang menjadi dasar dari proses produksi
berita adalah adanya semacam konsensus;
bagaimana suatu peristiwa dipahami bersama dan dimaknai. Disini ada dua
pengertian; pada satu sisi peristiwa dan aktor yang direstui dan pada sisi lain
adalah peristiwa dan prilaku yang dikeluarkan (mbalelo)
dari
pembicaraan. Konsensus menyediakan suatu kesatuan; satu negara, satu masyarakat,
satu budaya dan sebagainya. Melalui konsensus ini realitas yang beragam dan
tidak beraturan diubah menjadi realitas yang mudah dan bisa dikenali, sesuatu
yang plural menjadi tunggal. Lewat konsensus ini, terjadi proses homogenisasi
bahwa kita adalah satu.
Peristiwa
bisa dipahami dalam perspektif yang berbeda didasarkan pada kesepakatan atau
tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama dalam komunitas. Kelompok yang
ada di luar itu dipandang sebagai menyimpang (deviant) dan dipinggirkan
dalam pembicaraan. Peristiwa atau aktor dipandang dengan ketidaksetujuan dan
dimarjinalkan dalam pembicaraan. Pandangan yang negatif atau marjinal mengenai
sesuatu didasarkan pada konsensus yang bekerja dalam suatu proses pemberitaan.
Gambar
3. Peta Ideologi
Daniel Hallin (Eriyanto, 2002:127) membuat ilustrasi
dan gambaran menarik yang menolong menjelaskan bagaimana berita kita tempatkan
dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang;
bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere
of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere consensus).
Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan
ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis. Apakah peristiwa
dibingkai dan dimaknai sebagi wilayah penyimpangan, kontroversi, ataukah
konsensus? Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan, atau prilaku
tertentu dikucilkan dan dipandang
menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara
umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Peristiwa PKI
masuk dalam wilayah penyimpangan karena dipandang sebagai sesuatu yang buruk
dan tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas. Bidang kedua adalah wilayah
kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada kesepakatan umum bahwa
realitas (peristiwa, prilaku, atau gagasan) dipandang menyimpang dan buruk,
dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang kontroversial. Kegiatan
seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta merta dipandang sebagai
perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling
dalam adalah konsensus; menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan
disepakati secara bersama-sama sebagai
realitas
yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.
Sebagai
area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana
prilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena memakai
kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideology yang berbeda
akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke dalam peta yang
berbeda, karena ideologi yang menempatkan bagaimana nilai-nilai bersama yang
dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk menjelaskan berbagai
realitas yang hadir setiap hari.
Peta
ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam
tempat-tempat tertentu. Ideologi yang dimaksud disini tidaklah selalu harus dikaitkan
dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau
pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan
tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses melihat
dan menandakan peristiwa tersebut kita menggunakan titik melihat tertentu.
Titik atau posisi melihat itu menggambarkan bagaimana peristiwa dijelaskan
dalam kerangka berpikir tertentu.
Framing Model Robert N. Entman
Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang
meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep
mengenai framing ditulis dalam sebuah artikel untuk Journal of Political
Communication dan tulisan lain yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu
studi kasus pemberitaan media.
Konsep framing oleh Entman digunakan untuk
menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh
media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam
konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dari
pada isu yang lain. Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks
komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap oleh pembuat
teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih
terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak.
Informasi yang menonjol kemungkinan lebih diterima oleh khalayak, lebih terasa
dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa. Bentuk
penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek informasi lebih
menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan
informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek budaya yang
akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide, gagasan,
informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat dan ditafsirkan
karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena kemenonjolan adalah
produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi
tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai
pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks berita
tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu
seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari
realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih
bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas
yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu
dan mengabaikan isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan
menggunakan berbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline
depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa
yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi
dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari
konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Framing adalah
pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan
dihilangkan, hendak dibawa kemana berita tersebut.
Seleksi
isu
|
Aspek
ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan
beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini
selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included),
tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek
atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu
isu.
|
Penonjolan
aspek tertentu dari suatu isu
|
Aspek
ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu
peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal
ini sangat berkaitan dengan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk
ditampilkan kepada khalayak.
|
Sumber
: Eriyanto, 2002:187
Frame berita timbul dalam dua level. Pertama,
konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai
karateristik dari teks berita. Misalnya, frame anti militer yang dipakai untuk
melihat dan memproses informasi demonstrasi atau kerusuhan. Kedua,
perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian
mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep,
simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi
dan diselediki dari kata, citra, dan gambar tertentu yang memberi makna
tertentu dari teks berita. Kosakata dan gambar itu ditekankan dalam teks
sehingga lebih menonjol dibandingkan bagian lain dalam teks. Itu dilakukan
lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol, atau menghubungkan dengan
bagian lain dalam teks berita. Sehingga bagian itu lebih menonjol, lebih mudah
dilihat, diingat dan lebih mempengaruhi khalayak. Secara luas, pendefinisian
masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi atau skema interpretasi wartawan.
Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup membentuk dan
menginterpretasikan makna didalamnya.
Gambar
4. Skema Framing Robert N. Entman
Define problems (pendefinisian
masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing.
Elemen ini merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia
menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau
peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama
dapat dipahami secara berbeda. Bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan
realitas bentukan yang berbeda. Ketika ada demonstrasi mahasiswa dan diakhiri
dengan bentrokan, bagaimana peristiwa ini dipahami? Peristiwa ini bisa dipahami
sebagai anarkisme gerakan mahasiswa, bisa juga dipahami sebagai pengorbanan
mahasiswa.
Diagnose causes (memperkirakan
penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang
dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what),
tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami,
tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.
Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak
langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Misalnya, dalam kasus
bentrokan demonstrasi mahasiswa. Kalau demonstrasi itu dipahami sebagai
anarkisme mahasiswa maka mahasiswalah yang dianggap sebagai pelaku. Tetapi
sebaliknya, kalau demonstrasi tersebut dipahami sebagai perlawanan mahasiswa
maka polisilah yang dipandang sebagai pelaku.
Make moral judgement (membuat
pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi
argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah
didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi
yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan
dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak. Contoh gerakan
mahasiswa, kalau wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya
pertahanan diri, dalam teks berita bisa dijumpai serangkaian pilihan moral yang
diajukan. Misalnya disebut dalam teks, “mahasiswa adalah kelompok yang tidak mempunyai
kepentingan, dan berjuang di garis moral.” Pilihan moral sebaliknya, bisa
diberikan kepada polisi dengan menyatakan bahwa polisi berjuang demi rakyat.
Elemen framing lain adalah treatment
recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai
apa yang dikehendaki wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan
masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa
itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Kalau dalam
berita mengenai demonstrasi mahasiswa tersebut dipandang polisi yang salah maka
penyelesaian masalah yang ditawarkan bisa jadi menyeret polisi ke pengadilan
atau bisa juga ditawarkan penyelesaian untuk terus melakukan demonstrasi dalam
jumlah massa lebih besar.
Efek Framing
Framing berhubungan dengan pendefinisian realitas.
Bagaimana peristiwa dipahami, sumber siapa yang diwawancarai. Semua elemen
tersebut tidak dimaknai semata sebagai masalah teknis jurnalistik, tetapi
sebuah praktik. Berbagai praktik tersebut bisa mengakibatkan pendefinisian
tertentu atas realitas. Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita dan pada
akhirnya realitas yang berbeda ketika peristiwa tersebut dibingkai dengan cara
yang berbeda. Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas
sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak berarturan disajikan dalam berita
sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu.
Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam
kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk
memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra
tertentu. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi
yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak
mereka.
a. Menonjokan aspek tertentu
mengaburkan aspek lain.
Framing
umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan
disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek
tertentu. Akibatnya, ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang
memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari perpektif politik misalnya, mengabaikan
aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya.
b. Menampilkan sisi tertentu melupakan
sisi lain.
Pada aksi demonstrasi mahasiswa yang
banyak berakhir dengan bentrokan. Berita secara panjang lebar menggambarkan
proses bentrokan, mahasiswa yang nekat menembus barikade, dan akhirnya diwarnai
dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan menampilkan sisi yang seperti
ini dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan yaitu apa tuntutan dari
mahasiswa tersebut. Seolah dengan menggambarkan berita seperti ini, demonstrasi
tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan
berusaha membuat keributan saja ditengah masyarakat.
c. Menampilkan aktor tertentu
menyembunyikan aktor lainnya.
Berita seringkali juga memfokuskan
pemberitaan pada aktor tertentu. Tetapi efek yang segera terlihat adalah
memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang
mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. Misalnya
dalam berita tentang Timor Timur yang banyak menampilkan tindakan yang pro
integrasi dan teror yang dilakukannya. Pemfokusan semacam ini melupakan dan
menghilangkan kemungkinan adanya Unamet yang melakukan kecurangan dalam pemilu.
Berita dan versi semacam ini tidak mendapatkan tempat, karena berita
memfokuskan diri pada sisi yang lain, yaitu pasukan pro integrasi.
d. Mobilisasi Massa
Framing berkaitan dengan opini publik.
Hal ini dikarenakan ketika isu tertentu dikemas dengan bingkai tertentu bisa
mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Misalnya,
mengirim pasukan ke Timor Timur adalah upaya mempertahankan nasionalisme
Indonesia. Timor Timur adalah wilayah yang sah dari Indonesia, karena itu,
meski pasukan internasional telah datang tetap harus dikirim pasukan ke daerah
tersebut. Terbukti kemasan tersebut berhasil menarik dukungan masyarakat dan mobilisasi
massa. Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literature gerakan sosial.
Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak mempunyai
pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai dengan menciptakan
masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu,
khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Semua itu membutuhkan frame;
bagaimana isu dikemas, bagaimana peristiwa dipahami, dan bagaimana pula
kejadian didefinisikan dan dimaknai.
e. Menggiring
Khalayak Pada Ingatan Tertentu
Individu
mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media. Karenanya, perhatian
khalayak, bagaimana orang mengkonstruksi realitas sebagian besar berasal dari
apa yang diberitakan media. Media adalah tempat dimana khalayak memperoleh
informasi mengenai realitas politik dan sosial yang terjadi di sekitar mereka.
Karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh pada
bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut. Dengan kata lain, frame yang
disajikan oleh media ketika memaknai realitas mempengaruhi bagaimana khalayak
menafsirkan peristiwa. Hubungan transaksi antara teks dan personal ini melahirkan
pemahaman tertentu atas suatu realitas.
Apa
yang menyebabkan suatu berita lebih mudah diingat orang? Peristiwa-peristiwa
tertentu yang dramatis dan diabadikan, ternyata mempunyai pengaruh pada
bagaimana seseorang melihat peristiwa. W. Lance Bennet dan Regina G. Lawrence
(Eriyanto, 2002:150) menyebut sebagai ikon berita (news icon). Apa yang
khalayak tahu tentang realitas sedikit banyak tergantung pada bagaimana dia
menggambarkannya. Dalam peristiwa yang dramatis dan digambarkan oleh media
secara dramatis pula, bahkan mempengaruhi pandangan khalayak tentang realitas.
Gambaran tentang orang, kelompok, realitas bahkan selalu disesuaikan dengan
ikon yang sudah terlanjur tertanam dalam benak publik. Ikon-ikon yang
diciptakan dalam pemberitaan membatasi pandangan khalayak, seakan ia adalah
potret yang sempurna dalam menggambarkan orang, peristiwa, atau kelompok
tertentu.
(Diolah Dari Berbagai Sumber)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih sangat membantu
BalasHapus