Kamis, 04 Oktober 2018

Teori Literasi Digital


Paul Gilster pertama kali mengemukakan istilah literasi digital (digital literacy) di bukunya yang berjudul sama (Gilster, 1997 dalam Riel, et. al. 2012: 3). Ia mengemukakan literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari piranti digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks seperti akademik, karir dan kehidupan sehari-hari (Riel, et. al. 2012: 3).
Pendapat Gilster tersebut seolah-olah menyederhanakan media digital yang sebenarnya terdiri dari berbagai bentuk informasi sekaligus seperti suara, tulisan dan gambar. Oleh karena itu Eshet (2002) menekankan bahwa literasi digital seharusnya lebih dari sekedar kemampuan menggunakan berbagai sumber digital secara efektif. Literasi digital juga merupakan sebentuk cara berpikir tertentu.
Bawden (2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980an ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan tidak saja di lingkungan bisnis namun juga masyarakat. Sedangkan literasi informasi menyebarluas pada dekade 1990an manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring.
Secara sederhana literasi komputer diartikan sebagai alat bagi organisasi, komunikasi, penelitian dan pemecahan masalah. Shapiro dan Hughes (1996) mengemukakan bahwa literasi komputer terdiri dari tujuh komponen yaitu sebagai berikut.
  1.   Literasi alat – kompetensi menggunakan piranti lunak dan keras.

2.   Literasi sumber – pemahaman tentang berbagai sumber bentuk, akses dan informasi
3. Literasi sosial-struktural – pemahaman mengenai cara produksi dan manfaat informasi secara social
4. Literasi penelitian – penggunaan teknologi informasi untuk penelitian dan pengetahuan
5.   Literasi penerbitan – kemampuan berkomunikasi dan menerbitkan informasi
6.   Literasi teknologi baru – pemahaman mengenai perkembangan teknologi informasi
7.   Literasi kritis – kemampuan untuk mengevaluasi manfaat teknologi baru.



Literasi informasi dipelopori oleh para pustakawan untuk merumuskan penggunaan baru perpustakaan. SCONUL (Society of College, National, and University Libraries) di UK (SCONUL, 2006 dalam Martin, 2008), menyebutkan literasi informasi menyangkut tujuh aspek berikut.
1.     Mengenali informasi yang dibutuhkan
2.     Menentukan cara untuk menyelesaikan kesenjangan informasi
3.     Mengkonstruksi strategi untuk mendapatkan informasi
4.     Mencari dan mengakses
5.     Membandingkan dan mengevaluasi
6.     Mengorganisir, melaksanakan dan berkomunikasi
7.     Meringkas dan menciptakan
Jika kita perhatikan, literasi komputer lebih banyak berdimensi keterampilan fisik seperti kemampuan mengunakan alat-alat dan mengetahui sumber-sumber informasi. Sedangkan literasi informasi lebih cenderung ketrampilan mental untuk memahami dan memproduksi informasi baru.
Berbasis pada literasi komputer dan informasi, Bawden (2001) menyusun konsep literasi digital. Lebih komprehensif dibandingkan Glitser (1997), Bawden, (2001) menyebutkan bahwa digital literasi menyangkut beberapa aspek berikut ini.
1.     Perakitan pengetahuan yaitu kemampuan membangun informasi dari berbagai sumber yang terpercaya
2.     Kemampuan menyajikan informasi termasuk di dalamnya berpikir kritis dalam memahami informasi dengan kewaspadaan terhadap validitas dan kelengkapan sumber dari internet.
3.     Kemampuan membaca dan memahami materi informasi yang tidak berurutan (non sequential) dan dinamis
4.     Kesadaran tentang arti penting media konvensional dan menghubungkannya dengan media berjaringan (internet)
5.     Kedadaran terhadap akses jaringan orang yang dapat digunakan sebagai sumber rujukan dan pertolongan
6.     Penggunaan saringan terhadap informasi yang datang
7.     Merasa nyaman dan memiliki akses untuk mengkomunikasikan dan mempublikasikan informasi
Jika menilik pendapat Bawden (2001) di atas maka digital literasi lebih banyak dikaitkan dengan ketrampilan teknis mengakses, merangkai, memahami dan menyebarluaskan informasi.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Buckingham (2007) yang mengikuti pola komponen-komponen literasi media yang sebelumnya telah berkembang luas. Ia menyatakan bahwa digital literasi juga berkaitan dengan empat komponen penting yaitu: representasi, bahasa, produksi dan khalayak. Satu per satu akan dibahas berikut ini (Buckingham, 2007: 47-49).
1.     Representasi: sebagaimana media lain, media digital merepresentasikan dunia bukan semata-mata merefleksikan dunia itu sendiri. Beberapa bagian dalam media digital adalah hasil intrepretasi dan seleksi atas kenyataan.
2.     Bahasa: individu tidak saja dituntut mampu berbahasa namun juga memahami aneka kode dan konvensi pada berbagai genre konten. Hal ini membutuhkan kemampuan untuk memahami berbagai retorika fungsi bahasa seperti persuasi, eufimisme, hiperbola dsb.
3.     Produksi: literasi juga berkaitan dengan pemahaman mengenai siapa yang berkomunikasi kepada siapa dan mengapa. Hal ini berkaitan dengan motif komunikasi sehingga khalayak dapat memahami ‘keamanan’ konten.
4.     Khalayak: hal ini terkait dengan posisi khalayak yaitu pemahaman tentang bagaimana media menempatkan, menarget dan merespon khalayak termasuk di dalamnya cara-cara media digital mendapatkan informasi dari khalayak berkaitan dengan isu privasi dan keamanan pengguna.
Topik-topik literasi digital yang disampaikan oleh Buckingham (2007) menekankan pemahaman konten digital dan kemampuan khalayak memeriksa keamanan dan privasi penggunaan media digital.
Pandangan lain dikemukakan oleh Martin (2008) yang menyatakan bahwa literasi digital merupakan gabungan dari beberapa bentuk literasi yaitu: komputer, informasi, teknologi, visual, media dan komunikasi. Soal literasi komputer dan informasi telah dikemukakan di atas. Berikut ini satu per satu dibahas berbagai bentuk literasi lain.
Literasi teknologi (Dakers, 2006 dalam Martin, 2008) didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan, mengelola dan memahami teknologi. Literasi teknologi adalah kemampuan menggunakan teknologi yang melibatkan pengetahuan mengenai faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan sistem operasi teknologi. Hal ini meliputi pengetahuan mengenai sistem makro, adaptasi manusia terhadap teknologi, prilaku sistem. Ketrampilan ini juga menyangkut kemampuan menjalankan seluruh aktivitas teknologi secara efisien dan tepat.
Konsep lain yang digunakan untuk menyusun konsep literasi digital adalah literasi media. Literasi Media terdiri dari serangkaian kompetensi komunikasi termasuk kemampuan mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk pesan tercetak dan tidak tercetak (The Alliance for a Media Literate America dalam Martin, 2008).
Agak mirip dengan literasi media, Martin (2008) juga mengelaborasi literasi komunikasi sebagai pembentuk literasi digital. Literasi komunikasi diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi efektif secara individual atau kerja kolaboratif dalam kelompok dengan menggunakan teknologi penerbitan (piranti lunak teks, basis data, lembar kerja, alat gambar dsb), internet, dan alat elektronik dan komunikasi yang lain (Winnipeg School Division dalam Martin, 2008).


Ketrampilan lain yang menjadi dimensi literasi digital adalah literasi visual. Ini adalah kompetensi pengelihatan manusian yang dikembangkan dari kemampuan melihat yang diintegrasikan dengan pengalaman inderawi. Kemampuan ini membuat manusia dapat membedakan dan mengintrepretasikan seluruh tindakan, obyek, simbol terlihat yang alamiah maupun buatan manusia yang terjadi di lingkungan sekitar. Penggunaan ketrampilan ini secara kreatif membuat manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lain. Sedangkan penggunaan ketrampilan ini secara apresiatif membuat seseorang dapat memahami dan menikmati karya komunikasi visual. (Visual Literacy Association dalam Martin, 2008).
Menilik enam ketrampilan literasi dasar tersebut, komputer, informasi, teknologi, media, komunikasi dan visual, maka Martin (2008) merumuskan beberapa dimensi literasi digital berikut ini.
1.     Literasi digital melibatkan kemampuan aksi digital yang terikat dengan kerja, pembelajaran, kesenangan dan aspek lain dalam hidup sehari-hari.
2.     Literasi digital secara individual bervariasi tergantung situasi sehari-hari yang ia alami dan juga proses sepanjang hayat sebagaimana situasi hidup individu itu.
3.     Literasi digital dibentuk oleh namun lebih luas dari literasi teknologi komunikasi informasi.
4.     Literasi digital melibatkan kemampuan mengumpulkan dan menggunakan pengetahuan, teknik, sikap dan kualitas personal selain itu juga kemampuan merencanakan, menjalankan dan mengevaluasi tindakan digital sebagai bagian dari penyelesaian masalah/tugas dalam hidup.
5.     Literasi digital juga melibatkan kesadaran seseorang terhadap tingkat literasi digitalnya dan pengembangan literasi digital.
Lebih lanjut Martin (2008) setuju bahwa literasi digital bersifat berjenjang sebagaimana diungkapkan oleh Mayes dan Fowler (2006). Gambar berikut ini menunjukan penjejangan tersebut. Pada literasi digital tingkat satu, kompetensi digital, seseorang harus menguasai kemampuan dasar, konsep, pendekatan dan tindakan ketika berhadapan dengan media digital. Pada tingkat dua, penggunaan digital, seseorang dapat menerapkan aplikasi untuk tujuan produktif/profesional misalnya menggunakan media digital untuk bisnis, pengajaran, kampanye sosial dsb. Sedangkan di tingkat teratas, transformasi digital, seseorang mampu menggunakan media digital untuk melakukan inovasi dan kreatifitas bagi masyarakat luas.
Gambar 1.
Tingkat Literasi Digital

Sumber: Lankshear dan Knobel 2008, 167
Pendapat Martin (2008) ini menunjukan bahwa literasi digital merupakan ketrampilan yang bersifat multi dimensi. Seseorang dapat menguasai literasi digital secara bertahap karena satu jenjang lebih rumit daripada jenjang sebelumnya. Kompetensi digital mensyaratkan literasi komputer dan teknologi. Namun untuk dapat dikatakan memiliki kompetensi literasi digital maka seseorang harus menguasai literasi informasi, visual, media dan komunikasi.
Riel et al (2012) sependapat dengan ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa literasi digital bersifat multi dimensi. Namun berbeda dengan Martin (2008), ia menjelaskan bahwa literasi digital bersifat klasifikasi horisontal bukan vertikal. Literasi digital dikemukakan beberapa kelompok kemampuan sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Klasifikasi Literasi Digital

Komponen literasi media yang disampaikan oleh Riel et al (2012) ini berupaya mengakomodir aspek dari digital media yang tak saja baru secara teknis tapi juga menghadirkan logika komunikasi yang sangat interaktif yang cukup berbeda dengan media konvensional seperti media cetak dan penyiaran.
Interaksi di media digital tidak saja membutuhkan kemampuan teknis mengakses teknologi tapi juga memahami konten, fungsi aktif dan interaktif memproduksi pesan. Lebih dari itu interaksi di media digital membawa konsekuensi terhadap keamanan diri, privasi, konsumsi berlebihan, menyikapi perbedaan.
Konsep dan dimensi literasi digital yang dikemukakan oleh Riel et al (2012) bermuatan teknologis, psikologis dan sosial. Sehingga dapat dipahami bahwa literasi digital adalah bentuk ketrampilan yang kompleks dan menyangkut ketrampilan baru yang harus dimiliki manusia berhadapan dengan lingkungan digital saat ini.

Senin, 12 Juni 2017

Feminist Genre Theory Dalam Komunikasi Budaya, Sejarah Dan Pekembangannya



Feminist Genre Theory
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

Gelombang pertama
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.

Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. 

Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Secara umum pada gelombang pertama (dan kedua), hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.

Gelombang Kedua

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.

Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. 

Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.

Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.


Perkembangan di Amerika Serikat

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok “feminisme radikal” dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan “Women´s Lib”. 

Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya “Miss America Pegeant” di Atlantic City yang mereka anggap sebagai “pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan”. Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..

Pada 1975, “Gender, development, dan equality” sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.

Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.

Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

MACAM MACAM FEMINISME

1. Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2. Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

3. Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

4. Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

5. Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

6. Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. 

Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

7. Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. 

Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
[1] Robert Cox menegaskan kembali perbedaan ini dengan membedakan teori menjadi teori yang berorientasi pada pemecahan masalah dan teori kritis.
[2] Dalam perkembangan awalnya, Teori Kritis tidak memberikan perhatian kepada hubungan internasional. Baik Gramsci maupun Habermas hanya memberikan porsi yang sangat tidak substansial membicarakan hubungan internasional.

Minggu, 20 April 2014

TEORI KRITIS DALAM HAZANAH SAINS MODERN




Pendahuluan
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak, harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam arti tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
Around of Critical Theory
Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis (yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan jaman). Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.
Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.
Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Teori Kritis menjadi diskusi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau mengikuti jejak Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.


Tokoh-Tokoh Penting Teori Kritis

Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
Tokoh lain yang kemudian menjadi identik dengan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer dan Adorno, pada dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang kedua adalah penerus yang membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis dalam konteks pemikiran filsafat.
Theodore Adorno Dalam Teori Kritis
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903. Dia adalah seorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia lima belas, Adorno mengikuti pertemuan studi mingguan bersama Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih berpengaruh pada perkembangan intelektualnya daripada guru-gurunya di bangku kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt, memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, dia bertemu dan bersahabat dengan Max Hokheimer dan Walter Benjamin. Pada tahun 1924, Adorno menyelesaikan doktoral di bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia kembali ke Frankfurt, setelah sempat tinggal di Wina untuk belajar musik, dan bergabung dengan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan pada tahun 1924, yang kemudian dirujuk sebagai Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan menggabungkan filsafat dan ilmu sosial menjadi teori sosial kritis.
Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan, karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, dominasi pada wilayah materi tercermin dengan dominasi pada tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel dengan totalitarian fasisme dan totalitarianisme dalam industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian—dan pemikiran sistematis secara umum—juga kecenderungan apapun terhadap sintesis final. Dia menekankan hak untuk tidak sama.
Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat—dalam konteks Weberian—dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.
Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis musik adalah awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.
Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” dengan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Jurgen Habermas Dalam Teori Kritis
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen dan Zurich, Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat dari universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt.
Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek individu, dalam pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Barat modern menyaksikan bahwa keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional untuk kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.
Konsepsi Habermas tentang teori kritis mengalami kristalisasi pada tahun 60-an dalam karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan mengatakan bahwa paradigma positivistik sesuai untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis—seperti dalam ilmu alam—dan praktis—seperti dalam ilmu budaya—seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis dari individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan situasi tersebut; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang kekuatan-kekuatan itu.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara. Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu karena pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan keseharian.
Paradigma Kritis Dan Media
Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).
Pembahasan yang harus disadari adalah bukan hanya terletak bahwa teks media selalu bersifat ideologis tapi terutama adalah kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut (Shoemaker & Reese, 1991: 53-205). Dalam arti bahwa, meski konsumen dan produsen teks media punya opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai tetap saja ada bingkai aktivitas dan opsi mereka yang terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.
Pengenalan dan pemahaman yang cukup komprehensif atas struktur sistem produksi media, rasionalitas dan ideologi yang berada di balik teks media yang bersangkutan menjadi hal yang penting. Diperlukan paradigma penelitian dan metode penelitian yang mampu menelanjangi, menggali dan mengeksplorasi struktur, rasionalitas dan ideologi yang kesemuanya bersifat laten termuat dalam sebuah teks media (Dedy N. Hidayat, 2000: 127-164).
Teori Kritis, Paradigma Dan Wacana Media
Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai:
a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the ‘world’…(Guba, dalam Denzin & Lincoln, 1994:107).
Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik (Newman, 1997:62-63).
Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma positivistik, paradigma pospositivistik, paradigma kritis, dan paradigma konstruktivisme. Beberapa ahli metodologi dalam bidang ilmu sosial berpendapat bahwa paradigma positivistik dan pospositivistik merupakan kesatuan paradigma, yang sering disebut dengan paradigma klasik. Implikasi metodologis dan teknis dari dua paradigma tersebut, dalam prakteknya, tidak punya banyak perbedaan. Adanya konstelasi paradigma di atas maka teori dan penelitian biasa dikelompokkan dalam tiga paradigma utama, yaitu paradigma klasik, paradigma kritis dan paradigma konstruktivisme. Apabila terjadi tiga pembedaan paradigma dalam ilmu sosial, maka terjadi perbedaan pemahaman terhadap paradigma itu sendiri.
Perbedaan antara ketiga paradigma ini juga dapat dibahas dari 4 (empat) dimensi. Keempat dimensi tersebut adalah dimensi epistemologis, dimensi ontologis, dimensi metodologis, serta dimensi aksiologis.
Dimensi epistemologis berkaitan dengan asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Seluruhnya berkaitan dengan teori pengetahuan (theory of knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.
Dimensi ontologis berhubungan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti. Dimensi metodologis mencakup asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu obyek pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologis berkaitan dengan posisi value judgments, etika serta pilihan moral peneliti dalam suau penelitian.
Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media.
Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).
Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.
Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.
Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).
Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).
Perkembangan teori kritis semakin jelas ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis pada waktu itu, Sekolah tersebut juga merefleksikan peran media massa pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi).
Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti tertentu media bisa menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125).
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.
Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay, di mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media itu. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.
Paradigma kritis tidak cukup puas pada jawaban, pola, struktur, simbol dan makna yang tersedia. Perlu ada pemaknaan yang lebih komprehensif dan kritis atas media yang ada. Beberapa keyakinan teori kritis menjadi acuan awal pemahaman kita terhadap studi teks media dalam konteks paradigma kritis.
Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.
Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mampu memberikan konteks pengaruh kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.
Pendefinisian dan reproduksi realitas yang dihasilkan oleh media massa tidak hanya dilihat sebagai akumulasi fakta atau realitas itu sendiri. Reproduksi realitas melalui media merupakan representasi tarik ulur ideologi atau sistem nilai yang mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, media tidak hanya memainkan perannya hanya sekedar instrumen pasif yang tidak dinamis dalam proses rekonstruksi budaya tapi media massa tetap menjadi realitas sosial yang dinamis.
Pertama, reproduksi realitas dalam media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan dan politik penandaan. Bahasa di samping sebagai realitas sosial, tetap bisa dilihat sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yang ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup manusia).
Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, dapat dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepda peristiwa yang sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan dan dikonstruksi ulang oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna tertentu bisa lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ?
Mengapa pemaknaan lain di luar pemaknaan yang sudah ditentukan justru dimarginalisasikan? Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya ketika kita melihat proses bahasa dan pemaknaan, sebetulnya kita juga melihat ranah atau wilayah pertarungan sosial (Stuart Hall, 1982:80). Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana serta terartikulasikan dalam proses pembentukan dan praksis bahasa.
Kedua, bahasa dalam konteks wacana - terutama dalam konteks wacana komunikasi - sebetulnya mencakup pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna sama dengan yang ada dalam benak si pengirim (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan verbal selalu memakai kata. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.
Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang (M.Shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.